Taksonomi, Morfologi, Fisiologi, serta Ekologi Mycobacterium tuberculosis
Taksonomi dari Mycobacterium tuberculosis.
Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Upaordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : Mycobacterium tuberculosis
Adapun bentuk bakteri Mycobacterium tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan batang ramping dan kurus, dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 mm dan lebar 0,2 – 0,5 mm yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi lingkungan (Wikipedia, 2010).
Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram positif atau bakteri gram negatif, karena apabila diwarnai sekali dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Oleh sebab itu bakteri ini termasuk dalam bakteri tahan asam. Mycobacterium tuberculosis cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia dari pada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhan bergerombol. Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan kapsul atau spora serta dinding selnya terdiri dari peptidoglikan dan DAP, dengan kandungan lipid kira-kira setinggi 60% (Simbahgaul, 2008). Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob, oleh karena itu pada kasus TBC biasanya mereka ditemukan pada daerah yang banyak udaranya. Mikobakteria mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju pertumbuhannya lebih lambat dari kebanyakan bakteri lain karena sifatnya yang cukup kompleks dan dinding selnya yang impermeable, sehingga penggandaannya hanya berlangsung setiap kurang lebih 18 jam. Karena pertumbuhannya yang lamban, seringkali sulit untuk mendiagnostik tuberculosis dengan cepat. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berkembangbiak dengan baik pada suhu 22-23oC, menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk yang pathogen. Mikobakteria cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.
Bakteri ini biasanya berpindah dari tubuh manusia ke manusia lainnya melalui saluran pernafasan, keluar melalui udara yang dihembuskan pada proses respirasi dan terhisap masuk saat seseorang menarik nafas. Habitat asli bakteri Mycobacterium tuberculosis sendiri adalah paru-paru manusia. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di dalam paru-paru.
III.2. Respon Imunitas terhadap Tuberkulosis
Akibat klinis infeksi M. tuberculosis lebih dipengaruhi oleh sistem imunitas seluler daripada imunitas humoral. Orang yang menderita kerusakan imunitas seluler seperti terinfeksi HIV dan gagal ginjal kronik mempunyai resiko tuberkulosis yang lebih tinggi. Sebaliknya orang yang menderita kerusakan imunitas humoral seperti penyakit sickle cell dan mieloma multipel tidak menunjukkan peningkatan predisposisi terhadap tuberculosis. Koordinasi antara fagosit mononuklear dan limfosit T sangat diperlukan untuk perlindungan yang optimal. Aktivasi anti mikrobial dikontrol oleh limfosit T melalui mediator terlarut yang dikenal sebagai sitokin.
M. tuberculosis yang terhirup dan masuk ke paru akan ditelan oleh makrofag alveolar, selanjutnya makrofag akan melakukan 3 fungsi penting, yaitu;
1) menghasilkan ensim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek mikobakterisidal;
2) menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap M. tuberculosis berupa IL1,
IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor alfa), TGF (Transforming Growth Factor beta)
3) memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T.
Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis. IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulsois. Pada pasien tuberkulosis TNF juga berperan untuk meningkatkan kerentanan sel T melakukan apoptosis baik secara spontan maupun oleh stimulasi M. tuberculosis secara in vitro. IL-10 menghambat produksi sitokin oleh monosit dan limfosit sedangkan TGF menekan proliferasi sel T dan menghambat fungsi efektor makrofag.
Respon Sel Limfosit T
Limfosit T merupakan mediator obligat kekebalan, mereka tidak bekerja sendiri tetapi harus berinteraksi dengan sel-sel imun respon lainnya untuk mencapai resistensi yang optimal. Semua populasi sel T (CD4 , CD8 dan sel ) berperan dalam proteksi. Sel T yang mengekspresikan reseptor , 95% lebih terdiri dari sel T post timus terdapat pada organ perifer dan darah. Sebaliknya sel T hanya sedikit terdapat pada daerah tersebut, tetapi lebih banyak terdapat pada jaringan mukosa seperti paru-paru. Bukti bahwa sel T sangat diperlukan untuk resistensi tuberkulosis berdasarkan percobaan bahwa tikus mutan yang dihilangkan sel T dengan cara delesi gen yang mengkode sel T /, relatif resisten terhadap infeksi BCG subletal selama 4 minggu infeksi, kemudian pertumbuhan BCG meningkat dan akhirnya tikus tersebut akan mati karena infeksi BCG.
Sel Limfosit T
Beberapa bukti menunjukkan bahwa sel T berperan pada respon imunitas awal terhadap infeksi M. tuberculosis. Selain sel T, sel lain juga menghasilkan IFN dan mengekspresikan aktivitas sitolitik yang berperan pada resistensi. Sel NK maupun sel T menghasilkan IFN dan melisiskan sel target yang tersensitisasi mikobakterium. M. tuberculosis relatif resisten terhadap makrofag. Keberadaan M tuberculosis pada individu sehat selama beberapa tahun tanpa menyebabkan penyakit menunjukkan bawa sistem imun gagal menghilangkan patogen tersebut dan harus mengandalkan efek mikobakterisidal dan menghambat pertumbuhan mikobakteri.
Sel T berperan pada respon imunitas awal yaitu pada paru-paru dan limfo nodi yang baru terinfeksi M. tuberculosis, sebelum terbentuk respon sel T yang reaktif terhadap M. tuberculosis akan menghasilkan IFN, TNF, IL-2,IL-4, IL-5 dan IL-10 sama dengan sitokin yang dihasilkan oleh sel T. Selain itu supernatan dari sel T yang dirangsang oleh M. tuberculosis akan meningkatkan agregasi makrofag dan selanjutnya berperan pada pembentukan granuloma.
Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) adalah reaksi yang tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Pemindahan hipersensitivitas ini dapat dilakukan dengan memindahkan limfosit T. Reaksi tipe IV juga disebut reaksi tipe lambat karena timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan antigen. Respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap M tuberculosis dapat dilakukan dengan tes kulit tuberkulin yaitu suntikan intradermal dengan PPD (Purified Protein Derivatif). Reaksi tuberkulin mencapai puncaknya 48-72 jam setelah pemaparan. Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan agregasi dan proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama beberapa minggu.